Sabtu, 26 Februari 2011

Habitus, Korupsi, Transformasi ?

Habitus, Korupsi Dan Transformasi.

Di Indonesia ini telah mengalami berbagai macam polemik yang terjadi di berbagai macam bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, membicarakan sebuah polemic tidak akan pernah ada habisnya, karena pada hakikatnya sebuah masyarakat baik secara makro ataupun mikro pasti mengalami sebuah konflik yang mengakibatkan terjadinya sebuah problematika secara individu maupun bersama. Sebagai pemaparan bahwa polemik itu terjadi kita berkacamata pada masyarakat di Negara ini, telah banyak terjadi masalah dari tahun ke tahun di Negara ini tak kunjung selesai dengan berbagai macam pula masalah tersebut, namun saya berusah melihat dari satu aspek polemik yang terjadi, yaitu adalah tindak korupsi sebagai suatu wadah dimana kejahatan politik dan ekonomi itu terjadi sehingga dapat memberikan suatu pengaruh negatif bagi Negara itu sendiri.

Berbagai badan penegak hukum di buat tidak serta merta hanya sebagai hiasan sebuah lembaga peradilan dengan keadaan sekarang sangatlah sulit menlihat bahwa itu adalah tindakan yang salah, hal ini dikatakan berlanjut karena ketidak bergeraknya elemen yang ada untuk memberantas dengan saling sosialisasi, namun untuk sekarang keadaan itu terjadi sebagai semu di masyarakat.



Korupsi di Indonesia begitu banyak terjadi dan menjadi sebuah tatanan yang biasa, dalam suatu kegiatan yang di lakukan bagi sebagian orang baik secara individu maupun secara berkelompok. Dari tahun ketahun Indonesia telah mengalami suatu kemunduran, baik secara ekonomi maupun moral yang menjadi citra bagi bangsa ini, karena kata kunci dalam polemik ini merupakan suatu wujud pengendalian diri terhadap diri individu tersebut dan masyarakat (kelompok), tentang bagaimana memaknai sesuatu kegiatan (dalam hal ini tindakan) dengan tanpa melakukan tindakan korupsi. Terjadi sebuah pertanyaan bagi tindak korupsi di sini sebagai opsi untuk melihat maksud dari tindakan korupsi ini, pertama apakah latar belakang terhadap tindak korupsi, kedua apakah korupsi itu pengaruh dari sistem sosial yang terbentuk sehingga telah menjadi sebuah habitus yang tertanam di tiap pelaku korupsi tersebut. Demi menjawab pertanyaan tersebut maka haruslah di pahami terlebih dahulu bagaimana dan mengapa korupsi itu ada.

Setelah terjadinya korupsi adalah bukan untuk tetap membiarkan korupsi itu terus berlanjut, tetapi dengan di lakukannya peninjauan atau sebuah pemberantasan terhadap tindak korupsi disini, dengan membiarkan suatu tindakan korupsi sebagai awal habitus terhadap pemberantasan korupsi. Sebelum lebih jauh, baiknya untuk lebih memperdalam sebuah tindakan korupsi terhadap habitus dan bagaimana habitus sebagai transformasi gerakan anti korupsi.

Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Korupsi, menurut asal kata berbahasa latin, corruption. Kata ini sendiri punya kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, mengoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Transparency Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat public yang secara tidak wajar dan legal memperkaya dirinya ataupun memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan public yang di percayakan kepada mereka. Dalam konsepsi korupsi berlakunya sebuah dominasi baik secara personal maupun interpersonal dan keadaan tersebut dapat di jelaskan dari berbagai sudut pandang, memahami hal tersebut dapat di artikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang dimana memiliki ruang lingkup yang luas yang sehingga memberikan sebuah peluang untuk siapa saja melakukan tindak korupsi tersebut.
Sebagaimana kita tahu korupsi adalah sebuah kebohongan yang semu dimana manipulasi sebuah sistem yang ada di buat sedemikian rupa agar tidak di ketahui secara valid dimana korupsi itu terjangkit, sehingga keadaan tersebut menajadi sebuah simulakra dalam sebuah tindakan murni. Korupsi memang sudah mengakar kuat dan masuk ke setiap lini kehidupan bangsa Indonesia, oleh karenanya segala daya dan kekuatan bangsa ini harus dicurahkan untuk memberantas penyakit kronis ini, Menurut Karni Ilyas, pemerhati dan kolumnis masalah-masalah hukum di Indonesia, jika dipersamakan dengan penyakit kanker, situasi korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium 4 (empat) atau sudah tidak mungkin untuk di atasi lagi.. penyataan itu.. kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yan lampau.

Mengapa korupsi itu terus bertahan di Negara yang penuh dengan lembaga hukum di Indonesia, dapat di katakan secara konspirasi bahwa jika pemimpin korup, maka bagaimana dengan bawahannya, keadaan tersebut bagaikan ironi yang membuat korupsi itu menjadi sebuah dominasi untuk mementingan golongan tertentu, lemahnya hukum luasnya ruang gerak dalam penegakkannya korupsi itu tercampur, korupsi terjadi juga akibat ketidak mampuan mental bertanggung jawab terhadap kewajiban pekerjaannya tersebut, faktor terbesar adalah kapitalis yang bertombak pada matrealisme yang tinggi terhadap ekonomi yang terjadi, hal ini sangatlah berpengaruh karena dalam pola konsumsi ekonomi di Indonesia sangatlah tinggi.

Melihat fenomena korupsi idak cukup dengan pengamatan biasa, Indonesia sudah lebih dari 60 tahun meredeka tapi pola korupsi terus merajalarela. Artinya, pada lembaga birokrasi korupsi sudah menjadi struktur dan lebih parah lagi,sudah menjadi skema yang sistemik. Jika ada seorang pegawai jujur masuk kedalam birokrasi, maka ia bisa menjadi koruptur pula walau sevara tidak langsung. Pola ini lahir dari kecenderungan sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu menjadi muara yang terus mengalirkan aliran korupsi-korupsi hingga hari ini. Pola sejarah ini bermula dari penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC yang menimbun barang dan membuat cek palsu untuk memeperkaya diri mereka. Pola ini kemudian menular dan terus menahun di tubuh manusia Indonesia karena merasakan nikmatnya menjadi kaya dengan jalan pintas, yakni korupsi.

Jika dalam kajian fungsionalisme struktur adalah penentu yang melahirkan perilaku korupsi misalnya, namun indikasi-indikasi yang ditimbulkan pastinya bukan dari struktur semata namun juga ada keterlibatan actor disana. Ingat, bahwa yang pertama kali memunculkan penyelewengan korupsi ini adalah ide kreatif dari pegawai VOC. Ide ini telah membuat struktur terbentuk dan pola-pola kemudian merajut menjadi satu dengan kpentingan-kepentingan yang telah menjadi skema tersendiri.

Pierre Bourdeau menyatakan bahwa pola-pola bukan sekedar turunan dari struktur seperti asumsi dari teoritis fungsionalisme, namun yang lebih signifikan dari tindakan yang sudah terpolrisasi adalah kebiasaan. Kebiasaan itu lahir berkat adanya suatu struktur besar yang membuat individu terpakasa berafiliasi kepada struktur besar tersebut. Pola afiliasi ini lebih mengacu kepada suatu keberlanjutan dari sejarah. Sejarah bagaikan suatu hilir yang memproduksi aliran-aliran yang berkolaborasi dengan faktor-faktor seperti perbedaan SDA, perbedaan modal, dan focus Negara melahirkan suatu muara yang terdiri dari dua hilir ini. Maka kapasitas ini telah mendorong produksi pikiran, perspesi, ekspresi, dan tindakan yang dibatasi oleh sejarah dan kondisi-kondisi sosial.

Korupsi, bisa dilihat dari habitus. Korupsi terwujud pada apresiasi yang memproduksi pikiran, dan tindakan kotor yang bisa dilihat sbagai pola keberlanjutan dari dua sumber yang telah disebutkan diatas. Pola sejarah, telah disnutkan bahwa VOC adalah sumber dari keberlanjutan dari kanker korupsi, dan perbedaaan-perbedaan yang terjadi dari perbedaan SDA. SDA yang tidak terbagi sempurna dan cendrung dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu telah membuat orang lain yang ingin menikmati kue dari SDA itu mendekati pihak-pihak penguasa dan terjadilah pola kolusi dan nepotisme. Kemudian perbedaan modal telah memunculkan tentang konsep “selera”. Orang yang ingin merasakan menjadi orang kaya secara instan dan berselera kaya terus melalukan pendekatan-pendekatan kepada pihak yang berkuasa. Dan yang terakhir adalah Negara. Negara yang telah disusupi oleh kepentingan telah memunculkan budaya-budaya korupsi.

Begitu seringnya korupsi itu terjadi karena budaya, budaya itu menghasilkan kebisaan dan kini menurut Pierre Bordieu menciptakan sebuah habitus sebagai makna dari tindakan korupsi itu, Habitus adalah “struktur mental atau konitif yang di gunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema ata pola yang di iternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, mamahami, dan menyadari, dan menilai dunia sosial. Habitus tercipta karena periode historis seperti di jelaskan sebelumnya, bagaimana sebuah sejarah menetukan kedepannya sebuah masa depan, dan tidak salah pula sebuah konspirasi memandang bahwa jika pemimpin itu korup maka bagaimana nasib para bawahannya tersebut. Habitus sendiri merupakan hasil dan di hasilkan oleh masyarakat oleh Karen itu korupsi itu terbentuk karena adanya sifat korup itu sendiri dalam kegiatan korupsi itu seperti sebelumnya dikatakan, habitus adalah sebuah struktur dimana sistem sistem yang ada didalamnya sangatlah berpengaruh untuk menggerakan arah tujuan yang di inginkan.

Lapangan, adalah sebuah syarat sebuah habitus dan habitus sendiri adalah sebuah lapangan, hubungan dialektis ada dalam suatu tatanan habitus, hubungan dialektis itu sendiri berupa cara berpikir dan citra, dialektika menekankan pada sebuah arti penting yaitu proses, hubungan dan kontradiksi, hal ini juga mempunyai sebuah penjelasan dari sebuah tindakan korupsi yang menjadi citra adalah makna tindakan korupsi, terjadinya korupsi itu merupakan hasil dari sebuah tindakan yang menjadi sebuah proses dan saling berhubungan inilah dialektis sebuah korupsi dalam sebuah tindakan korupsi, dalam Habitus melihat sebuah strukturalisme hal ini tidak sama dengan strukturalis lain Bordieu melihat strukturalis secara makro dengan demikian peran actor disini di pandang lebih meluas dan begitu pula pada sebuah korupsi; Pierre Bordieu mekomposisikan teorinya dengan teori Durkheim. Korupsi itu ada karena adanya ruang, ruang disini merupakan, ruang sosial itu tercipta atau ada karena sebuah tindakan yang mengentarai habitus dan kehidupan sosial.

Disisi lain, tindakan korupsi memiliki tasndingan dimana kondisi korup yang telah terjadi menjadi sebuah pemberantasan untuk membelenggu tindakan korupsi, sebagai suatu tindak pemberantasan yang di namakan sebagai transfomasi yang dimana transformasi sendiri memiliki arti sebagai perubahan, dan menjadi, alih fungsi yang dimaksud disini adalah tindak korupsi, posisi korupsi disini yang terus merajalela menurut Bordieu tetang distinction menjelaskan sebuah perubahan kebudayaan, disini transformasi itu harus di jelaskan dengan memberikan sebuah perubahan yang realistis dari sebuah budaya korupsi itu untuk berubah.
Jika ingin melakukan sebuah perubahan (yang dalam arti di sini transformasi), dilihat bagaimana sebuah pola sistem yang ada di Negara itu, agar korupsi itu dapa di tindak lanjuti, Bordieu menjelaskan sebuah perubahan atau transformasi haruslah melihat pada pola yang menurut Bordieu di bagi menjadi tiga bagian yaitu SDA, Modal dan Negara.

Melihat sebuah tindak korupsi yang dialami oleh pengelolaan SDA yang tidak rata yang merupakan pola pertama, sedikit di jelaskan tadi sebagai penjelasnya akan di tambahkan tentang perilaku manipulasi itu terjadi SDA tersebut, hal itu tercipta karena sebuah dominasi dan underine mechanism itu ada, seperti apa yang dialami oleh perusahaan kelapa sawit yang merupakan produk ekspor namun tidak samapai pada sebuah kemakmuran di masyarakat kemakmuran tersebut, mengapa dikatakan demikian karena proses eksportr dalam perpajakan sudah di latar belakangi oleh sebuah korupsi sebagai kepentingan dari golongan – golongan tertentu sehingga pemerataan itu tidak sampai pada apa yang di inginkan, kerena banyaknya prosedur yang berbelit dan pengawasan yang tidak tepat sehingga hal tersebut terjadi, jika memberikan sebuah habitus yang merupakan produksi dalam sebuah tindakan. Haruslah dilakukan penanaman sebuah dominasi positif terhadap kekuasaan agar bisa menimbulkan kesadaran dimana kejahatan korupsi memberikan cerminan terhadap perilaku perpajakan, pemberantasannya adalah dengan melakukan sebuah pengawasan yang real terhadap mafia perpajakan untuk meminimalisir ruang gerak terhadap habitus korupsi yang ada.
Pola kedua, adalah sebuah ketertarikan terhadap sumber modal yang tinggi, sehingga memberikan minat terhadap perilaku korupsi sehingga hal tersebut di lakukan dengan melepas kepentingan orang lain demi kepentingan pribadi, dari hal tersebut memberikan lagi sebuah peluang korupsi dengan habitus terhadap pola modal yang korup, transformasi pemberantasan korupsi ini habitus yang di ubah adalah pola dimana pemikiran sebuah modal itu tidak dapat di manipulasi pula, dan lagi adalah sebuah pengawasan yang ketat. Dengan membuat oraganisasi pengawasan lebih spesifik lagi dengan audit yang jelas dan secara terukur dan kredibel habitus tersebut akan bertransfomasi menjadi satu kedisiplinan mental.
Kemudian pola yang ketiga, Negara yang merupakan bagian penting yang menurut Bordieu sebagai motor penggerak sebuah masyarakat, dalam pengaruhnya terhadap habitus dengan korupsi memberikan keadaan yang sangat signifikan. Negara menyelewangkan anggaran, yang tidak masuk pada rakyat menjadi sebuah polemik yang terus terjadi secara semu, dalam sebuah pemberantasan penyelewengan anggaran Negara ini GKPK diperlukan sekali dalam bidang pengawasan sebagai perubahan nilai Habitus yang ada.

Terlepas dari pola yang Bordieu Jelaskan masih banyak motif yang menjadi pola saat ini, dari berbagai kegiatan yang ada, adalah memeras rakyat. Hal ini menjadi sebuah habitus di karenakan berbagai faktor yang menjadi persoalan yaitu, pertama, lapangan kerja yang sempit di tengah pertumbuhan angkatan kerja yang besar. Kedua, kewenangan yang tidak terkontrol dari (pimpinan) instansi pemerintahan tertentu. Ketiga, pihak pemerintah nasional terkait jarang untuk peduli terhadap kondisi birokrasi daerah yang carut – carut dan kotor itu. Ha ini menyebabkan tindakan yang disebut juga sebagai korupsi, dari ketiga hal tersebut sebuah habitus terlihat sudah tercipta secara tidak langsung dengan berbagai macam pola.
Kosekuensi yang harus di jalani adaah efek negatif terhadap moralitas dari sebuah pegelolaan, sistem yang tertatan itu menjadi rusak dan kembalilah jika ingin adanya sebuah perubahan dengan dilkukannya sebuah pembangunan moralitas terhadap tindakan transformasi pemberantasan korupsi dengan habitus tersebut.

Jika dilihat kembali Habitus berfungsi “dibawah tingkat kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan.” Namun ia mewujudkan dirinya dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus. Kebiasaan atau habitus ini berpertan sebagai struktur, tetapi orang tak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis. Jadi dalam pendekatan Bordieu, kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan determinisme total ;Selera sebagai habitus juga termasuk sebagai indikator terhadap tindak korupsi, dalam pola ini berbagai macam kegiatan dan jenis korupsi itu terjadi.

Dalam tindakan korupsi, seseorang dapat memiliki keuntungan yang cukup banyak namun dengan kosekuensi kerugian pada lain pihak sebagaimana mestinya sebuah tindakan korupsi yang telah menpengaruhi habitus ini, di berikan sebuah batasan – batasan yang menjadi tolak ukur tindak korupsi, sehubungan dengan itu sudah tidak sedikit dengan banyaknya kasus korupsi yang terungkap menjelaskan batasan itu adalah tranformasi yang berupa pemberantasan. Jika sebuah korupsi itu masih banyak terjadi, sebuah sistem itu harus lebih banyak membuat lembaga pemberantasan korupsi lebih spesifik, terbuka, transparansi terhadap publik, pada tindak korupsi sebelumnya berjalan Karena adanya sebuah underline mechanism, yang merupakan awal kemudian adanya ruang sebuah tindakan, dan bagaimana sebuah mental menjai rusak, namun anehnya melihat adanya lembaga hukum dan lembaga pengawasan, hal itu masih tetap ada dan sangat sulit di berantas, dengan habitus yang sudah mendarah daging dalam kehidupan itu membangunan ekonomi dan sosial di masyarakat transformasi habitus itu akan terjadi dalam konteks pemberantasan, jika semua itu dilakukan tidak menutup kemungkinan maka habitus itu akan terbentuk menjadi lebih baik lagi.

--------------

Daftar Pustaka

Giddens, Anthony dkk. 2009. Sosiologi Sejarah Dan Berbagai Pemikiranny. Terj. La Sociologie History Et Idees. Bantul : Kreasi Wacana

Kaligis, O.C. 2006. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. Jakarta : Alumni

Kaligis, O.C.2008. Praktik Tebang Pilih Korupsi. Jakarta : Alumni

Ritzer, George & Douglas J. Goodman, dkk. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar